Powered By Blogger

Kamis, 01 Juli 2010

Letak Geografi Kota Palopo


Secara Geografis, Kota Palopo terletak antara 2 o 53'15” – 3 o 04'08” Lintang Selatan dan 120 o 03'10” – 120 o 14'34” Bujur Timur.
Kota Palopo sebagai sebuah daerah otonom hasil pemekaran dari kesatuan Tanah Luwu yang saat ini menjadi empat bahagian, dimana disebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Walenrang Kabupaten Luwu, disebelah Timur dengan Teluk Bone, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Bua Kabupaten Luwu, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tondon Nanggala Kabupaten Tana Toraja.

Luas Wilayah
Luas wilayah administrasi Kota Palopo sekitar 247,52 kilometer persegi atau sama dengan 0,39% dari luas wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Dengan potensi luas wilayah seperti itu, oleh Pemerintah Kota Palopo telah membagi wilayah Kota Palopo menjadi 9 Kecamatan dan 48 Kelurahan pada tahun 2005.
Wilayah Kota Palopo sebagian besar merupakan dataran rendah dengan keberadaannya diwilayah pesisir pantai. Sekitar 62,85% dari total luas daerah Kota Palopo, menunjukkan bahwa yang merupakan daerah dengan ketinggian 0 – 500 mdpl, sekitar 24,76% terletak pada ketinggian 501 – 1000 mdpl, dan selebihnya sekitar 12,39% yang terletak diatas ketinggian lebih dari 1000 mdpl.


KOTA tanpa sejarah adalah kota mati. Justru itu, rekonstruksi artefak-artefak dari masa lalu sangat berguna untuk mengetahui asal-usul suatu kota, pertumbuhan, dan perubahannya, termasuk potensi pengalaman dan cita pikiran masa lalu yang merepresentasikan jiwa zaman dalam mendesain kota (mikrokosmos).
Kali ini, saya akan menceritakan sedikit tentang selayang pandang Kota Palopo yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan tersebut. Kebetulan saat ini saya sedang berada di kota ini.
Sebelum menjadi daerah otonom, kota ini merupakan ibukota Kabupaten Luwu. Kabupaten Luwu sendiri dulunya adalah kerajaan. Luwu merupakan kerajaan tertua di Sulawesi, yang wilayah kekuasaannya bukan hanya di Sulawesi Selatan, tetapi juga di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.
Kota Palopo, dahulu disebut Kota Administratip (Kotip) Palopo, merupakan Ibu Kota Kabupaten Luwu yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah ( PP ) Nomor Tahun 42 Tahun 1986. Seiring dengan perkembangan zaman, tatkala gaung reformasi bergulir dan melahirkan UU No. 22 Tahun 1999 dan PP 129 Tahun 2000, telah membuka peluang bagi Kota Administratif di Seluruh Indonesia yang telah memenuhi sejumlah persyaratan untuk dapat ditingkatkan statusnya menjadi sebuah daerah otonom.

Istana Datu Luwu
Ide peningkatan status Kotip Palopo menjadi daerah otonom, bergulir melalui aspirasi masyarakat yang menginginkan peningkatan status kala itu, yang ditandai dengan lahirnya beberapa dukungan peningkatan status Kotip Palopo menjadi Daerah Otonom Kota Palopo dari beberapa unsur kelembagaan penguat seperti Surat Bupati Luwu No. 135/09/TAPEM Tanggal 9 Januari 2001, Tentang Usul Peningkatan Status Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Keputusan DPRD Kabupaten Luwu No. 55 Tahun 2000 Tanggal 7 September 2000, tentang Persetujuan Pemekaran/Peningkatan Status Kotip Palopo menjadi Kota Otonomi; Surat Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan No. 135/922/OTODA tanggal 30 Maret 2001 Tentang Usul Pembentukan Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Keputusan DPRD Propinsi Sulawesi Selatan No. 41/III/2001 tanggal 29 Maret 2001 Tentang Persetujuan Pembentukan Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Hasil Seminar Kota Administratip Palopo Menjadi Kota Palopo; Surat dan dukungan Organisasi Masyarakat, Oraganisasi Politik, Organisasi Pemuda, Organisasi Wanita dan Organisasi Profesi; Pula dibarengi oleh Aksi Bersama LSM Kabupaten Luwu memperjuangkan Kotip Palopo menjadi Kota Palopo, lalu kemudian dilanjutkan oleh Forum Peduli Kota.

Karakter

Pembentukan Karakter Peserta Didik melalui Pendekatan Pembelajaran Berbasis Fitrah
editor: Wiwid Kurniandi
I. Rasional
Pendidikan adalah sebuah proses yang tak berkesudahan yang sangat menentukan karakter bangsa pada masa kini dan masa datang, apakah suatu bangsa akan muncul sebagai bangsa pemenang, atau bangsa pecundang sangat tergantung pada kualitas pendidikan yang dapat membentuk karakter anak bangsa tersebut.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, karakter ialah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter satu bangsa sangat dipengaruhi oleh kultur dasar bangsa tersebut. Jepang memiliki kultur Bushido yang menekankan kesetiaan, kedisiplinan tinggi, dan semangat pantang menyerah. Persentuhan bangsa Eropa dengan Islam melalui Spanyol, Sisilia, dan Perang Salib pada abad ke 11M telah membentuk karakter bangsa Eropa menjadi bangsa pembelajar sehingga mampu menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan karya sarjana muslim di abad pertengahan, yang bermuara pada penguasaan mereka yang tinggi terhadap iptek hingga saat ini.
Bangsa Indonesia, bukanlah bangsa yang telah ada sejak zaman Majapahit, bangsa ini baru lahir pada tanggal 28 Oktober 1928, sehingga menjadi ‘bangsa yang muda’ dengan kultur dasar yang “masih amburadul”, yang sedang mencari jati diri, dan memunculkan karakter yang “aneh tapi nyata”.
Ambil contoh apa yang ditulis oleh kolom tajuk Harian Umum Republika, Rabu, 19 November 2008, berikut; “Ada kisah populer tentang gaya hidup pejabat negeri ini. Berada di sebuah negeri kaya raya bernama Jepang untuk mengusur hutang, para pejabat kita datang ketempat pertemuan dengan berkenderaan mewah. Disana tuan rumah sudah menunggu. Namun mereka, para pejabat yang pegang kuasa untuk memberi hutang itu, ternyata datang ketempat pertemuan dengan menggunakan kenderaan umum”
Kultur dasar suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh pemahaman bangsa tersebut terhadap agama dan tradisi yang memengaruhi gaya hidup, dan pandangan hidup bangsa tersebut. Rasionalitas yang merupakan kultur dasar bangsa Eropa dimulai dari Revolusi Prancis. Revolusi ini terjadi karena adanya pemerintahan absolut pada masa raja Henry IV Navare (1589-1610) dilanjutkan oleh Louis XIII (1610-1643). Louis XIII didampingi Perdana Menteri Richellieu yang menyatakan “raja tak akan membagi otoritasnya dengan siapapun juga, termasuk para bangsawan tinggi”. Pengganti Louis XIII adalah Louis XIV yang memerintah paling absolut selama 72 tahun (1643-1715). Dalam memerintah, raja didampingi Perdana Menteri Kardinal Mazarin. (Kardinal:jabatan dalam gereja Katolik)
Sebagai suatu bentuk perlawanan terhadap pemerintahan absolut ini para filsuf Prancis dimotori oleh Rene Descartes (La Haye, Perancis, 31 Maret 1596 – Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650) seorang fisuf dan ahli matematika memunculkan pilsafat eksistensialime yang diteruskan oleh Jean-Paul Sartre (Paris, 21 Juni 1905 – 15 April 1980) juga dari Prancis.
Aliran filsafat eksistensialisme lebih dikenal dengan sebutan aliran filsafat ‘Cartesian’. Descartes mengatakan, “Aku berpikir maka aku ada”, sementara Jean-Paul Sartre muncul dengan diktum, “human is condemned to be free”, manusia dikutuk untuk bebas.
Aliran filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia sebagai individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Fisafat ini menjadi aliran besar dalam filsafat barat, dan memusnahkan cara pandang holistik (menyeluruh) terhadap manusia yang dipelopori oleh para filsuf muslim pada abad ke-18 yang memosisikan ‘Jiwa’ sebagai bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia.
Filsafat eksistensialisme berkembang keseluruh penjuru dunia seiring dengan ekspansi kolonialistik dan imperialistik bangsa barat ke benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Ketika bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin membebaskan diri dari cengkeraman kolonialis barat, maka kebebasan itu tidak serta merta membebaskan alam pikiran dan kultur dasar bangsa-bangsa ini dari pengaruh filsafat barat.
Di Indonesia, pada titik yang ekstrim, pengaruh filsafat barat (yang berintikan filsafat eksistensialisme) yang memengaruhi alam pikiran sebagian anak bangsa ini telah menghasilkan kelompok cendikiawan muslim yang justru mengidap ‘Islamophobia’. Dengan berbagai alasan, alergi terhadap simbol-simbol keislaman – tanpa pernah mendalami Islam sampai pada tingkat yang tertinggi – para cendikiawan muslim ini dengan ‘sukaria’ berbicara di TV, dan menulis di media yang isinya mengagungkan filsafat barat, dan mengecilkan peranan Islam yang telah menyumbangkan demikian besar ilmu pengetahuan dan teknologi melalui universitas-universitas yang didirikan dinasti Abbasiyah (750-1258M) di Baghdad.
Sejarah mencatat, di saat dinasti Abbasiyah mengalami kejayaan, pada saat yang sama Eropa mengalami kemunduran. Pada abad XI, Eropa mulai menyadari kehadiran peradaban Islam yang tinggi di wilayah Timur. Melalui Spanyol, Sisilia dan Perang Salib, peradaban itu mulai dibawa ke Eropa. Sejak itulah Eropa mulai mengenai sains dan peradaban Islam. Mereka mulai mengenal rumah sakit, bahan makanan timur, bahan pakaian, dan peralatan rumah tangga.
Eropa juga mulai mengenal dunia ilmu pengetahuan. Sebenarnya melalui Islam-lah Eropa mengenalkan filsafat dan sains. Gustave Le Bon (7 Mai 1841 – 13 Desember 1931) ahli psikososial dari Prancis pernah mengatakan bahwa ”orang Arablah yang menyebabkan kita mempunyai peradaban. Karena mereka adalah imam kita selama enam abad”. Orientalis dari Perancis Rom Landau mengakui bahwa dari orang Islam periode klasik inilah, orang Barat belajar berpikir obyektif dan logis, serta belajar lapang dada di saat Eropa diselubungi suasana pikiran sempit, tidak ada toleransi terhadap kaum minoritas, dan suasana penindasan terhadap pikiran mereka. Hal ini menjadi inspirasi bagi Renaisans Eropa yang kemudian membawa pada kemajuan dan peradaban barat sekarang ini.
Filsafat eksistensialisme/cartesian yang menjadi ‘Ruh’ filsafat barat pada gilirannya melahirkan faham atau isme dalam bentuk; materialisme, sekularisme, dan atheisme yang dipelajari oleh para intelektual dari negara-negara Asia dan Afrika ketika negara barat masih menjajah negara-negera tersebut, dan sesudahnya. Faham materialisme, sekularisme, dan atheisme, memunculkan faham lain yakni liberalisme, dan permisifisme (serba boleh). Faham-faham ini memberi pengaruh pada pandangan politik para politisi, cara pandang (paradigma) para intelektual terhadap agama. Ketika negara-negara Asia-Afrika meraih kemerdekaan, dan para intelektual ini menjadi pemimpin di negaranya, faham materialisme, sekularisme, dan atheisme tampak kental mewarnai kebijakan negara dalam segala bidang termasuk di bidang pendidikan.
Di Indonesia, di era 60-an, faham atheisme pada kaum komunis pernah begitu marak yang berujung pada pemberontakan G.30.S/PKI, dan kini berusaha bangkit kembali melalui gerakan-gerakan yang berselubung isu demokrasi dan HAM (pada saat yang sama mengabaikan Kewajiban Asasi Manusia/KAM). Bersama faham materialisme dan sekularisme, faham komunis yang atheis terus hidup hingga kini dan memberi pengaruh kuat terhadap cara pandang umat Islam terhadap agamanya sendiri.
Di bidang pendidikan, agama berubah wujud menjadi bagian dari pranata budaya dan pengetahuan. Di sekolah-sekolah, SD, SMP, dan SLTA, agama diajarkan dalam bentuk pengetahuan agama. Kemampuan peserta didik memahami agama dinilai melalui kemampuan peserta didik menjawab teori-teori agama, sama seperti kemampuan peserta didik menjawab teori fisika dan matematika. Agama tidak lagi menjadi acuan hidup, ukuran sukses identik dengan rumah mewah, uang banyak, mobil mewah, dan tanah luas (materialisme).
Para guru – yang beragama Islam sekali pun – tidak menyadari bahwa benda selalu jatuh ke bawah adalah ketetapan Allah (sunatullah), sementara hampir semua guru dengan bangga dan lantang mengatakan ini adalah hukum Newton mengenai gravitasi.
Dalam konteks Minangkabau, seorang pakar pendidikan dari negeri ini, Engku M. Syafe’i, melalui buku yang berjudul; “Dasar-dasar Pendidikan yang ditulis beliau pada 31 Oktober 1968, (dikutip sesuai tulisan aslinya), menyatakan;
Kalau disangka, bahwa timbulnya Perguruan Nasional Ruang Pendidik INS Kayutanam adalah akibat me-niru2 perguruan2 di Barat dan Amerika, maka hal itu tidak seluruhnya benar. Yang menjadi pemimpin utama dalam hal ini adalah: terutama sekali ciptaan (fitrah-pen) Tuhan, yakni alam Indonesia jauh dan dekat. Dengan mengakui adanya Tuhan, sudah jelas kita mengakui akan ciptaan Tuhan.
M.Syafe’i adalah pakar pendidikan yang sangat menyadari pentingnya keyakinan akan adanya Tuhan dan kekuasaan Tuhan dalam rancang bangun pendidikan. Pada bagian lain dari bukunya beliau berkata, “Sifat kerja adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Tiap2 yang menentang dalil ini akan hancur. Tiap2 yang melaksanakan dalil ini akan bahagia”. Syafe’i ingin menegaskan: Bekerjalah dengan landasan percaya pada kekuasaan Tuhan, sehingga manusia tidak menjadi makhluk yang serakah! Peringatan Syafe’i kini terbukti di Amerika. Kapitalis-Liberalis yang menguasai pasar uang dunia, terpuruk oleh keserakahan yang terakumulasi dalam ‘Subprime Mortgage’, yang berakibat pada krisis keuangan internasional terparah dalam sejarah umat manusia!
Kuatnya pengaruh filsafat barat (yang berintikan filsafat Cartesian) dalam dunia pendidikan selama puluhan tahun sejak merdeka, telah mendorong rancang bangun pendidikan di republik ini mengarah kepada pengingkaran adanya Tuhan, mengarah kepada pemisahan agama dari urusan negara. Tak heran ketika pada tahun 2003 Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional akan diundangkan, maka satu partai besar mati-matian menolaknya. Alasannya pada undang-undang tersebut ada kata-kata; Akhlak Mulia, dan Iman Takwa. Partai yang sama pada tahun 2008 mati-matian menolak Rancangan Undang-undang Anti Pornografi.
Kuatnya pengaruh filsafat barat dalam dunia pendidikan membuat jiwa yang cenderung pada kesucian tidak tidak lagi diberi tempat dalam kehidupan. Yang diperhatikan dalam hidup hanyalah apa yang terukur, sementara jiwa bukanlah hal yang terukur, tak pula terjangkau oleh Panca Indera.
II. Fitrah
Dr. M. Quraish Shihab, M.A. lewat tulisannya “Wawasan Al Qur’an”, (www. media.isnet.org-2007) menyatakan bahwa dari segi bahasa, kata fitrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain antara lain “penciptaan” atau “kejadian”. Dalam Al-Quran kata ini dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak dua puluh delapan kali, empat belas diantaranya dalam konteks uraian tentang bumi dan atau langit. Sisanya dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali yaitu pada surat Ar-Rum ayat 30:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah (Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS.30:30)
Muhammad Thahir bin Asyur (2003) dalam tafsirnya Al-Tahrir tentang surat Ar-Rum di atas sebagaimana yang dapat dibaca di www. media.isnet.org menyatakan bahwa: Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya).
Manusia berjalan dengan kedua kakinya adalah fitrah jasadi (jasmani) nya, kemampuan manusia merumuskan masalah dan mengambil kesimpulan adalah fitrah akliah (akal) nya, kemampuan manusia menerima ilham, dan memanfaatkan bashirah adalah fitrah ruhiyah-nya. Pembelajaran Berbasis Fitrah bertumpu pada Fitrah Ruhiyah peserta didik, dimana bashirah-nya akan mengendalikan akal pikirannya.
Konsepsi fitrah telah ada sejak manusia diciptakan, artinya pada diri setiap orang terdapat potensi fitrah yang senantiasa mendorong manusia berbuat kebajikan, menjadikan dirinya sebagai sumber daya yang bermanfaat bagi lingkungan, bagi sesama manusia. Fitrah bermakna bahwa setiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci, tidak memiliki dosa apapun. Seseorang yang kembali kepada fitrahnya, berarti ia mencari kesucian dan keyakinannya yang asli, sebagaimana pada saat ia dilahirkan (karena itu menjelang Hari Raya Iedul Fitri tiap individu Muslim, berkewajiban membayar Zakat Fitrah, zakat untuk menyucikan jiwa). Jiwa manusia condong kepada kebaikan, sebagaimana firman Allah,
“….tetapi Allah menjadikan kamu cinta pada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci pada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Sebagai karunia dan nikmat dari Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Bijaksana” (QS Al Hujuraatt: 7-8)
III. Bashirah
Seorang Sufi, Abdurrozaq al-Qasyảni (1265M) didalam kitabnya al-Isthilahat al-Sufiyyah, menyatakan al-Bashirah ialah kekuatan hati yang dilimpahi cahaya Ilahi yang dengannya hati dapat melihat hakikat batin sesuatu perkara sebagaimana mata dapat melihat lahiriah sesuatu benda.
Bashirah, adalah pandangan mata batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Berbeda dengan qalb/kalbu/hati yang tidak konsisten, bashirah selalu konsisten kepada kebenaran dan kejujuran. Ia tidak bisa diajak kompromi untuk menyimpang dari kebenaran. Bashirah disebut juga sebagai nurani, dari kata nur, .Bashirah adalah cahaya ketuhanan yang ada dalam hati, nurun yaqdzifuhullah fi al qalb. Interospeksi, tangis kesadaran, kecerdasan, religiusitas, god spot,bersumber dari sini.
”Katakan ini adalah jalanku. Aku menyeru kepada Allah atas dasar bashirah. Demikian pula orang orang yang mengikutiku”. (QS: Yusuf:108)
“Akan tetapi di dalam jiwa manusia itu ada bashirah (yang tahu)” (QS.Al Qiyaamah:14).
Manusia yang sudah mampu menghadirkan “Kekuasaan Allah” pada “Bashirah” yang ada dalam jiwanya tentulah akan memperoleh Nafsu Mutmainnah atau jiwa yang tenang, dan insya Allah akan selalu dapat menghindarkan dirinya dari hal-hal yang negatip, kontra produktip.
IV. Pembelajaran Berbasis Fitrah
Pembelajaran Berbasis Fitrah adalah pembelajaran yang mengupas masalah fitrah dalam makna; suci. Hal ini mengingatkan kita semua, terutama kalangan pendidik, bahwa: ‘Kesucian Jiwa’ memegang peranan penting dalam prilaku dan keberhasilan manusia dalam menjalani hidupnya.
Jiwa yang kering dan jauh dari nilai-nilai agama adalah jiwa yang cenderung membuat seseorang, atau sekelompok orang berbuat tanpa kearifan dan cenderung mengabaikan etika, estetika, dan ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’
Jiwa adalah bagian dari Fitrah dalam makna; penciptaan yang dilakukan oleh Allah sebagai Sang Pencipta (al Khalik). Untuk ini Allah telah berfirman dalam surah Asy Syams ayat 7-10 . berikut,
“(7)Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya).(8) Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. (9) Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. (10) Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”
Surah Asy Syams ayat 7-10 ini mengingatkan kita bahwa pada fitrah diri manusia ada “kekuatan yang tersimpan” berupa ilham ketakwaan yaitu kemampuan seseorang untuk mentaati aturan dan ada “kelemahan yang tersimpan” berupa ilham kefasikan yaitu kecenderungan seseorang untuk melanggar aturan, bahkan aturan yang dibuat olehnya sendiri, karena itulah Allah SWT mengingatkan, ‘beruntunglah orang yang senantiasa mampu mensucikan jiwanya’.
Jika manusia mampu menyadari fitrah dirinya yang hakiki dan suci dan mengenali keberadaan “kekuatan yang tersimpan”, untuk kemudian mampu mengeluarkannya, mengalirkannya ke dalam aliran darah, pikiran, dan jiwanya, ketenangan batin akan menyeruak memenuhi sekujur tubuhnya.
Dia pun akan melangkah dengan mantap, menyusuri hari-harinya, jauh dari rasa cemas, dan rasa takut, karena dia tidak lagi merasa sendiri, “Kekuasaan Allah” selalu hadir mendampingi dalam jiwanya. Perlahan tapi pasti dia akan memperoleh kecerdasan spiritual yang mendukung tumbuhnya kecerdasan intelektual.
Efek dari semua ini adalah: dia mampu berpikir besar dan berbuat besar, tanpa pernah merasa besar. Dia dapat menjadi tokoh penting dalam masyarakat tanpa pernah merasa menjadi orang penting. Dia adalah pencontoh paling nyata dari sifat Rasullullah; Sidiq (jujur), Amanah (dapat dipercaya),Tabligh (selalu menyerukan kebaikan), dan Fatanah (cerdas).
Kunci keberhasilan untuk meraih kesucian jiwa – dimana bashirah kemudian berperan besar dalam menumbuhkan kecerdasan spiritual – adalah:
1. Yakin dan sangat yakin pada keberadaan dan kekuasaan Allah.
2. Senantiasa berusaha mensucikan jiwa dengan selalu ikhlas ber-dzikir mengingat Allah.
3. Melakukan semua perintah Allah dan menjauhi larangannya dalam rangka: menghambakan diri kepada Allah
V. Penutup
Jika seminar yang diselenggarakan ini adalah seminar pada umumnya – yang hanya menyisakan rangkaian kata-kata melayang tanpa bekas di udara dan kertas makalah yang bertumpuk – maka makalah yang ditulis ini menjadi sesuatu yang bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa, melainkan hanya seonggok tulisan yang ditulis sekedar untuk mengikuti kehendak panitia.
Jika kata demi kata yang terangkai menjadi kalimat ditempatkan sebagai sebuah makna yang patut direnungkan, insya Allah yang menulis makalah, dan yang membaca makalah akan mendapatkan curahan kasih sayang Allah dalam volume dan nilai yang sama.
Jika makalah ini dibaca oleh saudara yang non muslim, percayalah dalam ajaran agama (atau ajaran budaya) saudara pun sangat dilarang pemujaan yang berlebihan terhadap harta, tahta, serta dunia dengan segala isinya, sehingga nilai-nilai kemanusiaan kita yang luhur – yang membedakan kita dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan – tergadaikan.
sumber:http://agupenajateng.net/2009/02/13/pembentukan-karakter-peserta-didik-melalui-pendekatan-pembelajaran-berbasis-fitrah/
Entri ini dituliskan pada 14 Mei 2009 pada 05:14 dan disimpan dalam Umum. Anda bisa mengikuti setiap tanggapan atas artikel ini melalui RSS 2.0 pengumpan. Baik komentar maupun ping saat ini ditutup.
« Juklak School Grant
PINTAR VS BODOH ??? »

Comparative

Comparative Study

The comparative method is often used in the early stages of the development of a branch of science. It can help the researcher to ascend from the initial level of exploratory case studies to a more advanced level of general theoretical models, invariances, such as causality or evolution.

The design of comparative research is simple. Your objects are specimens or cases which are similar in some respects (otherwise, it would not be meaningful to compare them) but they differ in some respects. These differences become the focus of examination. The goal is to find out why the cases are different: to reveal the general underlying structure which generates or allows such a variation.

Comparation is one of the most efficient methods for explicating or utilizing tacit knowledge or tacit attitudes. This can be done, for example, by showing in parallel two slides of two slightly different objects or situations and by asking people to explain verbally their differences.

The method is also versatile: you can use it in detail work as a complement to other methods, or the entire structure of a research project can consist of the comparison of just a few cases.

In comparative study, you are examining two (or more) cases, specimens or events, often in the form of a table such as can be seen on the right where a column is reserved for each case, here called "Case 1" and "Case 2". On the basis of the target of your study you have to decide which are the interesting aspects, properties or attributes that you will have to note and record for each of the cases. In the table on the right, these aspects are called A, B and C. During the process of analysis, you then can add new aspects or drop out fruitless ones. Those aspects that are similar in both the cases need not be recorded, because here you are not making two case studies but only a comparison of the cases.

The final goal of research is usually to reveal the systematic structure, invariance, that is true not only for the cases that were studied, but for the entire group (population) where the cases came from. In other words, the goal is to generalize the findings. Of course, it would be foolhardy to assert anything about a larger group, if your study consisted of just two cases. The plausibility of your generalisation will increase, if you have instead of "Case 1", several cases from the same group, let us call it "Group 1", and similarly several cases from "Group 2". If all or the majority of these pairs show the same invariance, its credibility will quickly rise. There are statistical methods to calculate the credibility, or statistical significance of the findings. The question whether the found invariance then is true even outside the population, is something that the researcher normally leaves to be speculated by the readers of his report.

In the case that you wish to compare more than two groups, or the number of cases is large, the study begins to approach classification, a method that is discussed on another page.

In comparative like in most other studies there are two different styles, both of which will be discussed below:

  • Descriptive Comparison aims at describing and perhaps also explaining the invariances of the objects. It does not aim at generating changes in the objects, on the contrary, it usually tries to avoid them.
  • A special style of research is needed when the aim is not just to detect and explain but also to improve the present state of the object, or to help improving or developing similar objects in the future. This is the technique of Normative Comparison.